Hidup di Jakarta selama 4 bulan lamanya membuat saya sadar bahwa kualitas hidup di kota besar memang sungguh memprihatinkan. Rumah-rumah yang padat, tikus got dimana-mana (ukurannya Subhanalloh banget), sampah dan lalat beterbangan kian kemari, ndak ada ruang terbuka hijau yang memadai, kendaraan dan macet dimana-mana, jalanan yang sempit, waah dan masih banyak lagi. Pokoknya keadaan lingkungan disana membuat kita merasa sumpek dan susah nafas. Blas ndak enak dan jauh lebih nikmat hidup di kampung.
Bukan cuma masalah lingkungan. Faktor kehidupan lain seperti makanan juga membuat saya nyesek. Awalnya saya agak kaget melihat banyak orang dengan selownya makan di warteg yang di dalamnya dipenuhi dengan lalat, atau warteg yang berada persis tepat di depan tempat pembuangan sampah. Agak bergidik menatapnya. Meski memang saya bukan orang yang terlalu peduli dengan kebersihan, saya ndak bakal tega melihat sesuatu hal yang diluar batasan saya sebagai orang yang jorok.
Sebagai anak rantau saya mau ndak mau yo harus tetep makan diluar, karna waktu dan tempat ndak memungkinkan untuk masak makanan sendiri. Saya benar-benar pilih-pilih dalam menentukan warung nasi mana yang akan saya kunjungi untuk membeli makanan. Warung yang bersih memang yo ada tapi juga harganya lumayan mahal bagi seorang mahasiswa seperti saya. Hahaha. Jadi terpaksa saya beralih ke warteg yang saya ceritakan diawal. Teman-teman seangkatan saya kuliah di PPGT SMK Kolaboratif Universitas Negeri Jakarta juga makan disana pikir saya. Yoo sebagai seorang yang enakan saya pun ngimbangin mereka untuk bareng-bareng makan disana. Dan rasanya yo memang enak dan bikin ketagihan. Hingga akhirnya perasaan saya biasa saja untuk menyuap nasi dan makan disana.
Hari berlalu, dan saya pun mulai akrab dengan mbak yang berjualan nasi warteg di depan tempat pembuangan sampah itu. Dia asli orang tegal memang jadi selain masakannya yang enak saya juga tertarik untuk selalu mendengarkan dia tertawa. Habis lucu mbanget logatnya itu (no rasis). Hahhaha
Keadaan baik-baik saja hingga teman saya menemukan sebuah binatang kecil yang sudah mati di dalam nasi warteg yang teman saya bungkus dan di makan di kosan. Dan dengan sekilas saya tahu kalau itu adalah lalat ijo, ukurannya sekitar sebesar kelingking saya. Huweeek, menjijikkan banget. Dari kejadian itu saya mengambil pelajaran penting, bahwa lalat adalah hewan yang sangat ceroboh, karena cuci tangannya saja bisa berdampak pada wafat dan ajalnya.
Ada lagi kisah dimana teman saya membeli ayam goreng atau bahasa kerennya chicken di pinggir jalan besar tepat di depan kampus A UNJ. Tampilannya yang masih segar membuat teman saya tergiur untuk mencicipi makanan yang satu ini, hingga tiba-tiba ketika tepungnya dibuka belatung-belatung kecil ber-uget-uget di sela-sela serat dagingnya, seketika itupun teman saya (Bang Yovan) memuntahkan apa yang ada didalam perutnya, meski mungkin belatung-belatung itu belum sempat termakan. Hahha.
Beruntung sekali saya yang belum mengalami hal-hal aneh semacam ini. Cuma cerita ini saya sampaikan untuk agar anda yang mungkin berencana untuk hidup di Jakarta lebih berhati-hati dalam memilih makanan yang akan dibeli. Jangan sampai kesehatan Anda dipertaruhkan dengan makan makanan yang seketemunya.
Semoga bermanfaat.
0 komentar:
Posting Komentar