Berkeliling kota Garut (Selasa, 21 Mei 2013), ada hal yang membuat saya tersenyum, tersipu, dan malu. Seorang ibu berpenampilan lusuh yang saya jumpai di warung bakso domba Mang Encep adalah sebab musababnya. Awalnya saya tak begitu tertarik untuk memperhatikan ibu tersebut. Selain karena pakaian dan penampilannya yang (maaf sebelumnya) lebih mirip seorang tuna wisma, body dan lekuk tubuhnya yang sudah lember membuat saya lebih memilih untuk mengarahkan pandangan saya ke sudut-sudut lain (ke mbak-mbak bohay yang ada diseberang jalan, haha). Saya juga kala itu memang tengah sibuk memotret-motret bakso domba yang saya pesan. Dimana, gambar yang saya peroleh nantinya akan digunakan sebagai bahan menulis postingan saya yang berjudul Bakso Domba; Kuliner Ajegile Khas Garut yang saya ikutkan di kontes Jelajah Gizi 2.
Ketidaktertarikan saya terhadap ibu tersebut bertahan cukup lama, hingga akhirnya saya melihat dia mengeluarkan gepokan uang seratusribuan dan beberapa pecahan lainnya yang ia ikat dengan karet gelang berwarna kuning dari dompet kumalnya (uang gepokan yang dikeluarkan dari dompet kumalnya itu saya taksir nominalnya sekitar 3-4 juta). Saya pun melongo dibuatnya. Weleh-weleh, iki uwong kok tampilanne kere tapi duite gepokan. Menyadari hal itu, saya kemudian malu dan minder memandang diri saya sendiri. Saya yang kala itu memang tengah berpenampilan optimal dan maksimal (layaknya boyben Korea dengan gaya yang sok kaya dan kemelinti) hanya memiliki uang di dompet yang tak lebih dari 200 ribu, sangat berkebalikan dengan ibu yang ada di hadapan saya.
Dalam kemaluan malu dan keminderan saya itu, saya teringat pada kalimat yang sering diucapkan oleh Lek Tukul Arwana yang gini “don't judge abook cause it's cover”, atau konkritnya jangan nilai ibu ini dari gombal (pakaian) dan mukanya yang lusuh. #lha wong duite gepokan.
NB : Gambar dapet nyolong-nyolong.
0 komentar:
Posting Komentar